Selasa, 20 Mei 2008

Things about Hadi Susanto

Tak banyak yang mengenal Hadi Susanto. Ia tak beredar di Tanah Air sejak awal milenium baru ini, hampir sepertiga dari umurnya yang baru 29 tahun. Bahkan para pembaca novel Ayat-ayat Cinta pun tidak ada yang tahu bahwa ialah yang menulis kata-kata pengantar menarik di novel tersebut yang di umur 27 tahun meraih gelar doktor matematika dari Universiteit Twente, Belanda, dan kini mengajar di Nottingham, Inggris.
Lahir di sebuah desa kecil di Kabupaten Lumajang, jawa Timur, Hadi megecap pendidikan di SDN Kunir Lor 1, SMPN Kunir dan SMAN 2 Lumajang. Saat di bangku SD ia selalu di pilih sebagai wakil dari sekolahnya untuk mengikuti lomba cerdasa cermat di tingkat kabupaten. Anehnya ketika bertanding ia selalu kalah dan mendapat nilai hampir nol karena ia grogi pada saat melihat teman-temannya berpenampilan keren dan bergaya.
Kini, dunia yang berbalik grogi melihat prestasi mahasiswa ITB tahun 2000 yang juga aktif di dunia sastra. Ia menyelesaikan kuliah selama 3 tahun saja, namun hampir 4 tahun karena pada tahun keempat ia mendapat kesempatan mengunjungi Belanda selama 8 bulan untuk mengerjakan TA(Tugas Akhir) di Universiteit Twente. Begitu diwisuda ia terpilih sebagai penerima Ganesha Prize, Mahasiswa Berprestasi Utama di ITB dengan hadiah mengunjungi Belanda selama 3 bulan lagi. Oleh UT dia dtawari melanjutkan kuliah disana, dan mengambil program kombinasi MSc/PhD untuk perioda selama 4 tahun. Setelah selesai ia melanjutkan studi postdoctoral di Massachusetts, Amerika Serikat. Akhirnya pada Januari 2008 dia menjadi dosen di University of Nottingham, Inggris.
Pada awal karirnya dia pada saat duan tahun pertama di ITB ia sangat megalami kesulitan karena hanya mengandalkan beasiswa, akhirnya dia bekerja juga untuk mendapatkan uang. Karena hasil hasil uangnya di bagi tiga: untuk kuliah di bandung, orang tua, kuliah adik. Penderitaannya sangat banyak, salah satunya ia pernah pulang kampung pada saat lebaran menaiki kereta barang yang sangat gelap karena tidak mempunyai uang yang cukup untuk membeli karcis kereta ekonomi. Dan banyak sekali penderitaanya yang lain. Akhirnya berkat dukungan do'a dari orang tua ia dapat bersinar seperti sekarang ini.
Sejak SD ia sudah tertarik dengan angka-angka yang bisa dimainkan dengan operasi-operasi yang berhubungan. Di SMP dia menyadari bahwa alam disekitar kita bisa dirumuskan dengan matematika. Tapi pencerahan yang sebenarnya terjadi pada saat di ITB ketika mengikuti ceramah agama yang di sampaikan dosen astronomi Pak Mudji Raharto. Di Indonesia Matematika menjadi sangat menakutkan karena pesan dari matematika itu sering tidak sampai. karena kita menganggapnya sebagai sebuah hafalan, oleh sebab itu matematika menjadi tidak seksi lagi. Di Indonesia ada beberapa matematikawan yang menguasai betul bagaimana membuat matematika menjadi menarik, misalnya almarhum Profesor Andi Hakim Nasution yang dulu sering mengisi kolom di koran replubika dan almarhum Profesor Ahmad Arifin dari ITB.
selain manjadi matematikawan, ia juga seorang penyair. Banyak contoh orang yang seperti itu, misalnya pada tahun 1904, Hadiah Nobel untuk sastra di berikan kepada matematikawan Spanyol Jose Echegaray. Ia juga pernah mendengar rumor pada tahun 1999 ada seorang matematikawan di University of Mexico yang dinomisasikan sebagai kandidat penerima hadiah nobel sastra. Ada juga matematikawan yang terlihat di dunia Islam seperti Omar Khayyam yang terkenal dengan rabbayyat-nya itu. Selain sebagai penyair ia juga ahli matematika gometri yang mengoreksi postulat Euklid.
Pada saat ia mengajar di Inggris, ada kejadian yang lumayan lucu. Nah, pada saat ada mahasiswa yang bertanya, ia masih belum menangkap inti pertanyaannya, jadi ia bilang, "coba ulangi lagi?" Eh, mereka bilang enggak jadi. Mungkin mereka pikir ia ngetes apakah mereka yakin dengan pertanyaannya sendiri atau tidak.